Breaking

Kamis, 10 Januari 2008

Trubusan untuk Percepatan Pemulihan Hutan

Story – Teak forest – Forester


Soewarno (2004, Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Nganjuk, Jawa Timur) menjelaskan, saat ini produktivitas kayu jati dari daerah KPH Nganjuk berkisar hanya 40 ribu meter kubik per tahun.

“Itu pun angka resminya. Tetapi realitas hanya berkisar 5000 sampai 7000 meter kubik, karena sebagian besar hilang dalam bentuk kayu rencek, kayu bakar. Oleh sebab itu mengapa tidak di-manage supaya bisa lebih besar lagi?”ucapnya.

Nah, untuk recovery segera, kata dia hanya bisa diupayakan dengan manajemen pengelolaan “trubusan” (tunas baru yang tumbuh di bekas tebangan) tanaman jati.

Saat ini, katanya, area hutan produksi di Nganjuk memiliki daur (siklus pertumbuhan) yang sesungguhnya tidak lagi sampai 20 tahun, melainkan hanya dalam kisaran lima tahunan.

Hal itu bisa terjadi karena berbagai faktor gangguan, seperti banyak terjadi kasus perusakan tanaman sampai pencurian pohon.

“Umumnya tanaman yang baru berumur antara lima sampai sepuluh tahun hilang karena dicuri, kemudian sewaktu ditanami lagi dirusak orang, sehingga tidak pernah sampai mencapai siklus tumbuh (daur) normal,” katanya.

Itu semua bisa terjadi karena faktor tekanan masyarakat yang tinggi sehingga Perhutani tidak mampu mengatasinya.

Untuk dapat mengatasi soal ini, Soewarno mengusulkan sebuah solusi melalui pemikiran untuk memotong daur (siklus tumbuh) dari masa 70 tahun menjadi hanya 20 tahun saja, di daerah penyangga dengan teknik tebang tanpa teresan (lihat kritiknya soal teresan jati) sehingga dapat cepat pulih melalui teknik pemeliharaan tunas.

“Sehingga masyarakat yang memerlukan kayunya tidak lagi harus menunggu terlalu lama,” ia menjelaskan.

Menurut dia, sebetulnya Perhutani sudah memiliki pemikiran untuk menanam di daerah penyangga dengan daur pendek (FGS=Fast Growing Species). Hanya saja, pantas kecewa karena bukan dengan jenis tanaman jati, melainkan akasia mangium dan mindi.

“Padahal, sesungguhnya kita punya peluang istimewa dengan tanaman jati, yang juga bisa dibuat daur (siklus tumbuh) pendeknya, karena bisa ditebang umur 10 tahun dan 20 tahun pun bisa,”tuturnya.

Ia mengatakan, saat ini kayu jati kategori diameter 4 dan diameter 7 yang merupakan hasil tebang umur 10 tahun dan 20 tahun, juga laris terjual di pasaran.

Jadi perlu diingat, bahwa jati pun bisa dibuat berdaur (siklus tumbuh) pendek dengan pola pemeliharaan trubusan (tunas baru di bekas tanaman sebelumnya). Namun sementara ini mungkin masih terpaku pada pemikiran bahwa jati itu daurnya harus 70 tahun.

Betapa pun, kayu jati nilai ekonomisnya akan selalu lebih tinggi daripada berbagai kayu jenis lain.

Menurut dia, dengan membuat tanaman jati berdaur pendek, tidak akan menabrak prinsip ilmu kehutanan apa pun.

“Sama sekali tidak salah, karena dalam pengelolaan hutan ada tiga prinsip. Yaitu ekologi, ekonomi dan sosial,” ungkapnya.

“Dari aspek ekologi jelas terpenuhi karena habis ditebang langsung jadi hutan kembali, segi ekonomi juga pasti karena dapat menghasilkan dalam waktu pendek, sedangkan sisi sosial juga kongkrit karena 25 persen keuntungannya untuk kas desa,” tuturnya.

Dalam waktu dua puluh tahun kalau ditebang, setidaknya untuk setiap luas satu hektar dapat bernilai minimal Rp50 juta dengan target 100 meter kubik per hektare.

Mengapa baru berpikir seperti itu sekarang?

“Saya sendiri baru menemukan cara seperti ini saat bertugas di Nganjuk, sewaktu masih di daerah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Telawa sama sekali belum,” jawab Soewarno.

Ia mengaku baru dapat berpikir seperti tersebut sewaktu menyaksikan trubusan yang banyak bermunculan menjadi hutan yang bagus di daerah KPH Nganjuk.

Ia melihat kecenderungan perilaku petugas Perhutani dalam membuat tanaman saat ini berbeda dibanding ketika kurun waktu tahun 1970-an.

“Pada tahun 70-an para mandor rajin sekali, kalau musim hujan saat turun hujan, mereka datang ke hutan untuk menyulam (mengganti) tanaman yang mati. Tapi sekarang, begitu siang datang hujan mereka justru lelap tertidur, sehingga tanaman sekarang hasilnya kurang bagus,” ungkapnya.

Oleh pertimbangan tersebut, disamping faktor biaya pembuatan tanaman yang mahal dan waktu pemeliharaan yang lama dan mengandung banyak resiko keamanan, maka teknik pemeliharaan tunas saat ini dinilainya paling relevan.(P08J001.3 – SJTE)See relevance photo in http://sjte.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

close