Breaking

Senin, 02 Maret 2015

Menata bisnis jagung di hutan Kedungjati

Maksimumkan Keuntungan Petani,
TERTIBKAN BISINIS JAGUNG DI HUTAN KEDUNGJATI

KPH Semarang,
Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Semarang, Divisi Regional Jawa Tengah (Divre Jateng), berusaha menata  tertibkan bisnis pertanian jagung di daerah hutan Kedungjati.
"Konsepnya adalah pemberdayaan desa, kemandirian desa dengan penguatan potensi ekonomi warganya, khususnya yang berdomisili sekitar dan berkegiatan di kawasan hutan," ungkap Administratur / Kepala KPH Semarang, Ir. Ema Ismariana, MM, dalam wawancara Senin (2/3) kemarin di kantornya.
Dampak tidak tertibnya kegiatan usaha pertanian tanaman jagung di kawasan hutan adalah proses kerusakan berkelanjutan bagi kawasan hutan Perhutani.
Dalam pandangan Ema, para petani hutan yang bercocok tanam jagung di lahan kehutanan negara mendapatkan porsi keuntungan paling sedikit dalam mata rantai bisnis pertanian jagung.
"Sehingga, untuk mendapatkan hasil panenan jagung yang lebih banyak, para petani ini terpacu memperlebar ruang tanaman jagungnya di kawasan hutan Perhutani. Akibatnya, tanaman pokok kehutanan selalu gagal tumbuh karena dikalahkan kepentingan petani itu," paparnya lagi.
Kegiatan usaha pertanian jagung di kawasan hutan Kedungjati, daerah pemerintahan Kabupaten Grobogan itu, saat ini makin semarak dengan berkembangnya sejumlah pabrik pengolahan jagung. Hanya saja, laju perkembangan pesat ini tanpa dukungan ketersediaan lahan pertanian jagung yang memadai, sehingga lahan di kawasan kehutanan pun menjadi sasaran alternatifnya.
Dalam mata rantai bisnis pertanian ini, para oknum tengkulak pemasok benih, pemasok pupuk dan tengkulak pengumpul hasil panen justru yang selalu mengambil bagian keuntungan paling banyak.
"Untuk itu, Perhutani akan berperan selaku kekuatan penyeimbang yang berpihak kepada petani agar dapat keuntungan lebih baik dari sekarang. Dengan porsi keuntungan memadai, dapat diharapkan agar para petani menghentikan kecendrungan memperluas tanaman jagungnya di kawasan hutan dan beralih komoditas tanaman lain yang intensif lahan," tutur Ema Ismariana.
Dikatakan, Perhutani selaku pemilik lahan kehutanan nyaris tak memegang kendali apa pun dalam hiruk pikuk bisnis pertanian seperti itu. Para kaki tangan perusahaan pemasok benih, pemasok pupuk serta pengumpul hasil panenan, bahkan leluasa mengapling klaim masing-masing atas area kawasan hutan itu, sebagai daerah aktivitas bisnis mereka.
"Akibatnya, para petani hutan justru lebih siap mendengar arahan permintaan mereka daripada aparat Perhutani selaku pengelola kawasan hutan," sesal Ema.

Selisih harga ratusan juta

Kalau dikatakan bahwasanya kawasan hutan juga berkontribusi tanaman pangan bagi para petani, itu memang benar adanya. Dari luas 29.000 hektar kawasan Perhutani KPH Semarang, dapat dibilang lebih separuhnya digarap para petani.
"Seluas 15.156 ha penggarapan musiman dan 3.158 ha pengarapan terus menerus sepanjang tahun dua kali panen," papar Ema Ismarini.
Dengan luasan andil garapan lahan 0,5 hektar per petani, itu berarti sudah 36.000 petani kebagian kontribusi pengarapan lahan Perhutani.
Hanya saja, nilai tambahnya justru lebih banyak dinikmati oleh bukan petani penggarap itu sendiri. Melainkan oleh kelompok tengkulak yang terlibat dalam mata rantai ekonomi usaha tanaman jagung.
Dengan asumsi selisih harga yang dimainkan para tengkulak senilai Rp300 saja per kilogramnya, dan terdapat 4 ton jagung (40.000 kg) per hektar dikalikan luas kawasan KPH Semarang sekali panen akan ketemu total nilai Rp219 juta.
Itu baru kemungkinan selisih harga dari produksi jagung, belum termasuk yang dari penggunaan pupuk subsidi yang harganya dimainkan tengkulak juga, serta nilai pembelian bibit subsidi.
"Makanya saya berharap, melalui pilot project kerjasama dengan pihak Perusda Jateng di hutan Tepusan, nasib petani penggarap lahan kehutanan itu dapat diperbaiki. Dengan kehidupan ekonominya yang membaik maka petani dapat diharapkan kerjasamanya menjaga tanaman kehutanan," katanya.

Deforestasi hutan KPH Semarang

Laju deforestasi (penyusutan jumlah tegakan pohon) hutan di KPH Semarang terjadi akibat kegagalan tanaman beruntun dalam beberapa dekade, sehingga saat ini terdapat tanah kosong seluas 6.063 hektar
Sebagai gambaran, komposisi tanaman kehutanan berhenti pada tahun tanam 1970-an dan baru ketemu lagi tanaman tahun1997, sehingga struktur KU (Klas Umur)-nya ada KU V tapi berhenti dan tahu-tahu muncul KU I dan KU II. Artinya, selama kurun waktu 27 tahun terjadi kegagalan tanaman.
Menurut Ema, pengolahan kawasan hutan tanpa jeda guna kegiatan pertanian berakibat menghilangkan tingkat kesuburannya. Kandungan pospor berkurang, kadar air di musim hujan meningkat sehingga tanah jadi lembek dan kehilangan daya cengkeram dalam mengikat akar tanaman dan akibatnya tegakan jati tumbuh miring.
"Kehilangan lapisan topsoil, kandungan pasir atau porositas tanah berkurang sehingga menyulitkan akar tanaman cari makan. Hasilnya tumbuh tingginya pohon tak lagi ideal. Makanya dulu hanya diperbolehkan menggarap lahan dalam dua tahun saja, tujuannya untuk pemulihan kesuburan tanahnya," Ema Ismariana menerangkan.
Merujuk saran ilmiah dosen Fakultas Kehutanan UGM, Sidanarto, Administratur KPH Semarang ini lantas mulai merintis tanaman cemara di kawasan hutannya. "Tanaman cemara memiliki kandungan zat mikoriza yang dapat mengembalikan kesuburan tanah," tuturnya. (sjte 140303)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

close