Breaking

Kamis, 10 Januari 2008

PHBM dan Asosiasi Hutan Jati

Story – Forest - Timberland

Lanjutan tentang kawasan hutan jati hasil tanaman tahun 1857


Kalau memang demikian adanya, bahwa penduduk desa di sekitar kawasan hutan tua masih punya rasa ikut memiliki hutan, adakah semacam ungkapan terima kasih dari Perhutani buat mereka ?

“Begini, Malingmati merupakan salah satu desa target saya untuk kegiatan PHBM (Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat),” jawab Administratur Agus Hermansyah.

Menurut dia, program pelibatan masyarakat desa dalam komitmen kesetaraan bekerja ini, pada tahap pertama ditetapkan untuk tiga desa sasaran.

Menurutnya, meluncurnya perbuatan bersama orang-orang desa sekitar hutan ini, tentu saja tawaran awalnya dari Perhutani. Setelah pihaknya menjelaskan rencana tersebut, disusul munculnya sejumlah permintaan bentuk program dari masyarakat.

Namun demikian, menurut Sutomo, adanya rasa ikut memiliki di kalangan penduduk desa yang bermukim di sekitar kawasan hutan tua ini bukan atas dorongan kepeloporan tokoh tertentu di desa tersebut. Melainkan, nampaknya lebih karena adanya kesadaran kolektif.

“Kalau tokoh yang sangat berpengaruh atau mempengaruhi, saya kira kok ndak ada. Hanya, dari omong-omong kita bersama warga desa, ternyata masih ada rasa itu,” ujar Sutomo.

Menurut dia, disamping desa Malingmati masih ada lagi satu desa bernama Tambakrejo, yang kebetulan paling dekat letaknya dengan kawasan hutan bakal monumen itu.

Dari sisi keberadaan hutan itu sendiri, sempat terucap komentar menarik oleh Agus Hermansyah. Ia menjelaskan, di lahan seluas 98 hektare lebih itu, itu kan sudah berupa tegakan tua. Dari aspek riap sudah tidak dapat bertambah lagi. Jadi sudah stop, mandeg. Secara ekonomis ini kan tidak bagus untuk dibiarkan. Harus dieksploitasi.

“Tapi, kita juga harus menunjukkan kepada generasi yang akan datang, bahwa ini lo ada salah satu conto hutan tua yang bagus,” katanya.

Berdasarkan dua pertimbangan tadi, kita sudah mengusulkan ke pihak Unit, tegakan yang kurang lebih 90 hektare itu akan kita sisakan kira-kira 30 hektare tidak kita tebang. Tapi, selebihnya yang 60 hektare harus kita tebang, karena sudah tidak produktif.

Ia mengatakan, selanjutnya untuk regenerasi pohonnya, itu selain sekitarnya saya usulkan untuk ditanami JPP (Jati Produksi Pilihan). Mungkin setengahnya dan yang separonya lagi kita bikin area tanaman “asosiasi jati”.

Asosiasi jati, katanya, adalah tanaman-tanaman yang secara ekologis tumbuh di sekitar pohon jati. Conto, diantaranya, tanaman kesambi, ploso, segawe.

“Sebab, kalau kita bicara kepentingan ekologi, itu kan tidak hanya satu jenis tanaman jati saja. Melainkan disekitarnya perlu juga ditumbuhkan pohon-pohon lain yang dapat tumbuh seiring dengan pertumbuhan jati,” katanya menjelaskan.

Kapan hal itu akan dimulai ? Apakah sudah ada rintisannya ?

“Ya, setelah rencana ini disetujui atasan kami. Wong tebangan saja belum dimulai kok,” jawab Agus Hermansyah.

Disamping punya rencana untuk pengelolaan hutan jati 1857, di kantong Agus Hermansyah ternyata ada satu lagi rencana lainnya.

Bersebelahan dengan lokasi hutan tersebut, di dekatnya juga terdapat lokasi areal produksi benih (APB) jati.

“Di sebelahnya itu ada APB jati yang pohonnya bagus, yang dalam laporan tahunan menyatakan produksi bijinya bagus dan sudah dikirim keluar KPH, kemana-mana. Maksud saya, kalau nanti untuk lokasi obyek wisata hutan jati, maka obyeknya bisa terdiri monumen hutan jati tua tadi, terus melewati tegakan jati yang masih utuh dan merupakan pusat produksi benih, ” katanya.

Ia mengatakan, kalau perlu pada bulan-bulan tertentu, kita umumkan bahwa sedang ada kegiatan pengunduhan benih jati. Nah, itu bisa menjadi semacam atraksi yang dapat mendatangkan turis.

“Setelah melihat itu kita bisa juga berkeliling di lokasi persemaian. Saya kira ini akan sangat menarik bagi para peminat wisata pengetahuan,” tuturnya bersemangat.

Ia mengaku, targetnya adalah menjaring calon turis mancanegara.

Nampaknya Agus Hermansyah berminat untuk mengemas sekaligus menjajakannya sebagai salah satu jenis atraksi pariwisata, ibaratnya hutan tua itu sebagai semacam ayam jago maupun babon (induk betina) tua yang perlu dikenang jasanya. (P07J01.3. – SJTE).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

close